Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Cari Blog Ini

18 Oktober 2008

Nah ini dia...

Hari ini dapat email dari salah satu milis, isinya hal yang sudah sangat familiar kita dengar: RUU Pornografi. Sangat familiar karena terjadi pro dan kontra yang sangat hebat. Saya pribadi karena gak ngerti pernak-pernik hukum dan permainan kata-katanya, mendukung adanya peraturan (hukum) untuk membatasi arus pornografi di Indonesia. Menurut saya memang hukum itu dibuat berdasarkan sisi enaknya saja dan licik. Padalah permasalahannya sederhana. Stop pornografi!! Saya sendiri bingung untuk mengungkapkan pendapat saya. Dan akhirnya ada saya mendapatkan email tersebut yang isinya sesuai dengan pendapat saya.
Politik Pornografi di Indonesia
by: Sirikit Syah

Seru juga perdebatan pro-kontra pornografi di tanah air. RUU ini sudah dibahas di DPR sejak awal reformasi. Sudah 10 tahun. Betapa besar biayanya. Memangnya tak ada hal lain yang lebih patut dibiayai? Bukankah persoalan susila sudah dibahas di banyak UU atau aturan lain? Sebut saja KUHP, UU Penyiaran, UU Pers, UU Pelindungan Anak. Lalu, mengapa perlu UU Pornografi?

Pada tahun 2006, saya termasuk menentang RUU yang semula bernama APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Dari segi content, misalnya, sepasang suami istri yang berciuman di bandara untuk mengucapkan selamat tinggal, bisa dikenai pasal "melakukan pornoaksi di depan umum". Keberatan saya juga karena adanya pemborosan anggaran negara untuk hal yang para legislatornya saja kurang mengerti. Tidak seperti para aktivis perempuan dan kaum liberal, saya tidak sedang membela kaum perempuan (saya juga membela anak-anak, laki-laki, orangtua, dan gender ketiga).

Manusia berubah, takterkecuali saya. Saya sekarang menyatakan mendukung RUU Pornografi. Saya telah mempelajari dokumen-nya dan melihat kesungguh-sungguhan Pansus di DPR untuk menampung semua keberatan dalam perdebatan dua tahun ini. Draft yang tadinya terdiri dari 96 pasal, sekarang tinggal 48 pasal. Hal-hal aneh-aneh seperti "dugaan pornoaksi" banyak dihapus. Perlindungan terhadap kesenian, ritual adat, dan masyarakat tradisional, tersedia dengan manis di Pasal 14. Bila UU dan aturan lain kurang rinci dalam sanksi pelanggaran, RUU Pornografi ini berfungsi sebagai lex specialis yang dapat diterapkan. Tak ada lagi alasan menolak UU Pornografi ini.

Semua UU/aturan yang diajukan para penentang menggunakan istilah "kesusilaan", bukan "pornografi". Dalam praktiknya, pasal ini akan menjadi pasal karet, tarik ulur atas makna "melanggar kesusilaan". Beberapa kali kasus pornografi gagal dihukum dengan Pasal 282 KUHP karena kelonggaran makna "kesusilaan" ini. Tergantung hakim dan saksi ahli. Awal tahun 2007 majalah Playboy menang pengadilan karena para saksi ahli (wartawan, seniman) menyatakan isi majalah sama sekali tidak porno.

RUU Pornografi juga dituduhsebagai ancaman terhadap masyarakat tradisional.
Para penentang membawa-bawa nama orang Bali (memangnya orang Bali masih suka bertelanjang dada?), dan rakyat pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Tentu saja pemakai koteka tak akan ditangkap dan dihukum karena pornografi. Lagipula, mari kita bertanya pada diri sendiri: kita akan melanggengkan primitivisme (manusia tak berbusana), atau memajukan peradaban (mem-busana-kan masyarakat pedalaman)?

Masyarakat Papua tentu sajadijamin hak asasinya bila tetap ingin mengenakan koteka. Namun perkembangan alamiah manusia adalah menuju kemajuan. Rasa malu diturunkan secara manusiawi oleh Nabi Adam dan Siti Hawa (yang menutupi aurat dengan daun-daunan di Taman Surga). Secara natural, manusia memiliki rasa malu. Wajar bila pemakai koteka akan memilih mengenakan sarung, rok, atau pantalon untuk menutupi auratnya, terutama setelah mereka berinteraksi dengan masyarakat luas.

Para penentang juga menuntut "kebebasan memiliki dan memutar video porno" di kalangan manusia dewasa, karena manusia dewasa diharapkan/dipercaya dapat bertanggungjawab. Seandainya klaim itu benar, bahwa semua manusia dewasa bertanggungjawab, betapa amannya dunia ini. Dalam perspektif lain, meskipun ditonton secara pribadi, pernahkah mereka berpikir: siapa yang memainkan adegan porno itu? Jangan-jangan anak di bawah umur, atau perempuan yang diperdagangkan? Dimana empati mereka? Para penggemar video porno (sebagai terapi seks) sebaiknya memfilmkan diri sendiri saja.

Banyak sekali tuduhan sangar pada RUU Pornografi, antara lain "tirani mayoritas atas minoritas", "diskriminatif terhadap perempuan", "memasung kreativitas seni", dan yang paling seram "agenda Islamisasi/Talibanisasi". Ini semua kekuatiran berlebihan. Di alam demokrasi, kemenangan mayoritas sangat wajar, dan tidak berarti tirani terhadap minoritas. UU Pornografi jauh dari menindas perempuan, melainkan menjunjung tinggi derajad dan martabat perempuan.

Akan halnya kreativitas seni, sastrawan Taufik Ismail dalam pidatonya saat Uji Publik RUU Pornografi, 17 September di Jakarta, mengatakan: "Apakah seniman betul-betul kering kreativitas, sehingga tak bisa lagi menulis tentang kemiskinan, kebodohan, penindasan ekonomi, budaya, dll?" Dia secara tajam juga menyerang masyarakat seniman SMS (Sastra Madzab Selangkang) dan FAK (Fiksi Alat Kelamin) yang kini marak di kalangan penulis muda dengan sasaran generasi muda.

Apakah RUU Pornografi ini adalah gerakan Islamisasi/Talibanisasi? Di sinilah letak permainan politik para penentang. Mereka menggunakan berbagai cara, dari isu gender (diskriminasi perempuan), isu kedaerahan (mengancam masyarakat Bali dan Papuan), hingga yang paling sensitif: membenturkan Islam vs non-Islam. Padahal, semua agama dan kitab suci tidak menyetujui pornografi.

Gerakan politik penggagalan UU Pornografi ini keras menggema di berbagai media dan forum, berupa kutipan pernyataan maupun artikel, hingga ke seminar-seminar akademik dan politik. Terakhir, para penentang mengusung unsur paling sederhana, yaitu "definisi pornografi", dan mempersoalkan frasa "menimbulkan hasrat seksual". Di berbagai kamus bahasa Inggris tentang definisi 'pornography', memang unsur "sexual arousal" terdapat di situ, bukan semata karangan Pansus UU Pornografi. Akan halnya pertanyaan "siapa yang akan terangsang?", ini tak akan selesai diperdebatkan. Bisa saja para pelapor pornografi adalah kaum yang mudah terangsang. Tapi, bisa juga para penentang RUU adalah kaum frigid atau impoten yang sulit terangsang. Kita serahkan saja pada para ahlinya, melalui proses pengadilan, bila ada kasus yang dilaporkan.

Penulis adalah pengamat media
--
Shindu B Raditya
http://shindu-b-raditya.blogspot.com/


Tidak ada komentar: