Di sadur dari: http://www.hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/09/09/77726/tragikomedi-perang-salib-dan-penghianatan-assassin-1.html
Oleh: Ilham Kadir
Kebenginsan Pasukan Frank
SEJARAH konflik Islam dan Kristen –baik dalam ranah
teologis-ideologis-politik– selalu menarik dikaji. Terutama setelah
berakhirnya perang dingin Amerika dan Rusia dan pasca tesis Huntington, ‘The Clash of Civilization’ (benturan peradaban). Perang Salib
Kita mulai dari Pertempuran Manziket pada tahun 1071 Masehi, ketika
Turki Seljuk menghancurkan Bizantium menawan Kaisarnya, menggemparkan
dunia Barat dan Timur. Selanjutnya, memicu semacam pesan-pesan dari
Bizantium, kaisar tertawan seakan menyeru para kesatria Barat untuk
datang membantu mereka atas nama kesatuan Kristen.
Akhirnya, para patriark Konstantinopel mengirim pesan mendesak kepada
saingan beratnya di Barat, sang paus, memperingatkan bahwa jika
Konstantinopel jatuh, pengikut Muhammad akan langsung dantang membanjiri
kota suci Roma.
Masalah lain, ketika para peziarah (hujjaj) dari Barat yang
datang ke Tanah Suci mereka, Yerussalem di bawah kendali pemerintahan
Seljuk yang baru saja direbut dari kekuasaan Fathimiyah yang berpusat di
Mesir. Seljuk yang berasal dari bangsa Turki ini, memperlakukan para
peziarah secara tidak sopan dan terus-menerus menggannggu dan
menghalangi para hujjaj Kristen itu, walaupun tidak disiksa, seperti
dipukili dan dibunuh, namun pelecehan dan penghinaan kadang lebih
menyesakkan.
Sekembalinya ke kampung halaman mereka di Barat, para peziarah
menceritakan keadaan dan pengalaman mereka. Mengeluh tentang penghinaan
yang ditumpahkan pada mereka oleh “orang kafir” di tanah suci.
Akibatnya, tahun 1095, Paus Urbanus II terpaksa turun tangan,
menyampaikan pidato terbuka berapi-api di luar sebuah biara di Prancis
yang dinamai ‘Claremont’.
Di sana, ia mengatakan pada majelis bangsawan Prancis, Jerman, dan
Italia bahwa dunia Kristen berada dalam ancaman. Ia menjelaskan secara
detail penghinaan yang diterima para peziarah di Tanah Suci dan
menyerukan orang beriman untuk membantu saudara-saudara mereka mengusir
orang Turki dari Yerussalem.
Paus Urban menyarankan bahwa mereka yang menuju ke Timur harus
mengenakan Salib berbentuk kotak merah sebagai lambang pencarian mereka.
Ekspedisi ini harus disebut “Croisade” dari “croix” bahasa Prancis untuk “Salib”, dan dari inilah berasalnya nama yang dibekukan pada sejarawan untuk segenap upaya itu: Crusades atau Perang Salib, (Tamim Ansary, 2009).
Dengan wewenang yang ada padanya, Paus memutuskan bahwa siapa pun
yang berangkat ke Yerussalem untuk membunuh “kaum kafir” (Muslim, red)
akan menerima pengampunan atas dosa-dosanya.
“Pergilan ke Timur anak muda, kata Paus. Tunjukkan diri kalian yang
sejati sebagai mesin pembunuh mengagumkan yang untuk itulah kalian telah
dilatih masyarakat kalian, penuhi sakumu dengan emas tanpa rasa
bersalah, rebutlan tanah yang jadi hak kalian sejak lahir, dan sebagai
akibat dari itu semua, masuklah ke surga setelah kalian mati!” Begitu
kata Paus.
Tentara ‘Salib’ itu pun berduyung-duyung datang ke Timur, berziarah
dan untuk merebut Yerussalem, serta merampas hak orang Islam yang
dinilai kafir itu.
Tentara Frank
Pemerintah Seljuk yang menguasai Yerussalem, Kilij Arslan, suatu hari
di tahun 1096 mendapat info tentang adanya penyusup yang mereka anggap
tentara bayaran dari Balkan, dan menyebut mereka sebagai “Al-Ifranj” orang “Franj” atau ditulis “Frank”.
Laporan yang sampai secara detail bahwa, para Franj berpakaian aneh,
walaupun ada yang berpakaian seperti tentara, tapi hampir semuanya
mengenakan Salib berbentuk sepetak kain merah yang dijahitkan di pakaian
mereka.
Konyolnya, tantara Salib itu terang-terangan mengatakan bahwa
kedatangan mereka untuk menaklukkan Yerussalem yang didahului dengan
menaklukkan Nicea. Arslam melacak rute yang telah dan akan mereka lalui,
menyiapkan penyergapan, lalu, menghancurkan, menyapu bersih seperti
semut, membunuh banyak, menangkap dan menawan lainnya, mengejar sisanya,
sampai segelintir kembali ke Bizantium.
Namun, Arslan tidak mengerti, jika pasukan yang ia hancurkan seperti
semut itu hanyalah rekrutan dari semua golongan lapisan masyarakat,
petani, tukang, pedagang, bahkan wanita dan anak-anak. Mereka bukan
tentara profesional. Mayoritas adalah para pemuda yang putus asa, tidak
tahu mahu kerja apa, karena lahan pertanian telah direbut golongan
bangsawan penindas.
Gelombang pertama pasukan Salib adalah rintisan dari rangkaian
gerakan penyerangan yang akan menngguncang kaum Muslimin selama dua abad
ke depan, dan akan menjadi dendam sejarah bagi umat Kristen yang apinya
tidak pernah padam sampai sekarang. Crusade!
Tragikomedi
Terbukti, tahun berikutnya, 1097 ketika Kilij Arslan mendengar bahwa
lebih banyak lagi tentara Franj akan tiba, ia menepis ancaman itu sambil
menepuk dada. Dia tidak paham bahwa Tentara Salib gelombang kedua ini
benar-benar kesatria pemanah yang dipimpin oleh komandan militer tangguh
dan berpengalaman tempur dari negeri-negeri yang menjadikan perang
sebagai olah raga di Eropa.
Pertempuran kedua pasukan laksana perang penunggang kuda berpakaian
ringan menembakkan panah kepada tank lapis baja kesatria abad
pertengahan Eropa Barat. Para kesatria tangguh dari Pasukan Salib Franj
benar-benar memorak-moranda pasukan Islam berdarah Turki itu, merangsek
maju tanpa dapat dihentikan.
Mereka merebut kota kekuasaan Arslan lalu memaksa penguasanya lari ke
salah satu kerabatnya untuk berlindung. Pasukan Salib menuju Edessa,
selebihnya ke pantai Mediterania menuju Antiokhia.
Raja Antiokhia mengirimkan permohonan pada raja Damaskus, namanya
Daquq. Daquq, ingin membantu, tapi cemas tentang kakaknya Ridwan, Raja
Aleppo yang akan menyerang dan menyambar Damaskus jika ia meninggalkan
kotanya.
Penguasa Mosul setuju untuk membantu, tapi dia juga sedang sibuk
berperang dengan orang lain di sepanjang jalan, dan ketika akhirnya tiba
terlambat, dia terlibat pertempuran dengan Daquq yang juga tiba
terlambat, kedua pasukan Muslim itu akhirnya pulang dengan tangan hampa.
Dalam sejarah Islam, inilah Perang Salib untuk kali pertama.
Membacanya, laksana sebuah tragikomedi persaingan internal dimainkan di
satu kota dengan kota lainnya. Tragikomedia adalah gaya atau bentuk
drama yang memadu unsur-unsur antara tragedi dan komedi.
Ketika Antiokhia jatuh di tangan Pasukan Salib, para kesatria
melakukan balas dendam atas sedikit perlawanan dari kota itu dengan
pembantaian dan pembunuhan secara acak, lalu terus bergerak ke selatan,
menuju sebuah kota bernama Ma’ara.
Mendengar apa yang terjadi di Nicea dan Antiokhia, secara psikologis
penduduk negeri Ma’ara sudah kalah sebelum bertarung. Kesatria Salib
mengepung mereka, sampai akhrinya terjadi negosiasi dengan pemimpin
Ma’ara dan pasukan Salib: kami akan masuk ke kotamu tanpa merusak apa
pun, dan membiarkan kalian bebas, tidak ada pertumpahan darah walau
setetas, demikian janji para ksatria. Dan, pihak Ma’ara setuju,
membukakan mereka pintu gerbang kota.
Apa yang terjadi, terjadilah. Begitu Tentara Salib masuk kota dengan
mulusnya, mereka bukan hanya melakukan pembantaian. Mengamuk secara
menakutkan, bahkan sampai merebus orang Muslim dewasa untuk sup dan
menusuk anak-anak sebagai sate, memanggang mereka di atas bara api, lalu
menyantap.
Albert Aix yang ikut dalam penaklukan Ma’ara, sebagaimana dinarasikan
Tamin Ansary, menulis, “Pasukan kami bukan hanya tidak segan-segan
memakan bangkai orang Turki dan Saracen, mereka juga memakan anjing.”
(Tamim Ansary, 2009).
Saracen adalah istilah yang digunakan oleh orang Kristen Eropa
terutama pada Abad Pertengahan untuk merujuk kepada orang yang memeluk
Islam. Pernyataan ini dengan jujur menegaskan begitu kejamnya pasukan
Perang Salib selain tehadap kaum Muslim.
Ketika Tentara Salib berpesta-pora dari satu negeri ke negeri
lainnya, menebar teror dan muslihat, Wazir Mesir, di bawah Dinasti
Fathimiyah, Afdhal, mengirim surat pada kaisar Bizantium mengucapkan
“Selamat atas kesuksesan pasukan Salib” dan mengharapkan mereka jadi
aliansi untuk menjadikan pasukan Salib jauh lebih berhasil
Teroris Hashashin (Assasin)
Memang, selama ini, Seljuk dan Abbasiyah yang Sunni
(Ahlus Sunnah) selalu tidak akur dengan Fathimiyah yang berpaham Syiah,
dan kedatangan pasukan Salib yang menguasai negeri-negeri Sunni adalah
laksana hadiah dan bala bantuan bagi Dinasti Syiah Fathimiyah.
Karena itu, Dinasti Fathimiyah mencoba membujuk Kaum Salibis, bahwa
ia ingin Yerussalem di bawah kendalinya, dan Pasukan Salib dapat masuk
ke kota suci itu sebagai tamu terhormat. Tapi, pasukan Kristen itu
menjawab, bahwa mereka tidak butuh perlindungan, untuk Yerussalem,
mereka akan datang dengan ‘Pedang Terhunus’.
Pasukan Salib, datang melintasi kota-kota kosong sebelum sampai ke
Yerussalem. Para penduduk lari bersembunyi ketika mereka lewat. Sesampai
di Kota Suci, Yerussalem, mereka terkendala dengan dinding kota yang
terkunci dengan tembok begitu perkasa dan tinggi. Pengepungan terjadi
selama empat puluh hari, lalu mereka mencoba menggunakan taktik seperti
sebelum masuk Ma’ara. “Buka pintu gerbang, tak seorang pun akan
dirugikan, “ kata mereka pada Pemerintah Yerussalem.
Setelah masuk kota suci, Pasukan Salib terlibat pembantaian dan
pertumpahan darah. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki di sepanjang jalan.
Mereka menumpahkan darah ‘orang kafir’ (istilah mereka kepada umat
Islam) hingga darah umat Islam kala itu digambarkan sampai selutut.
David M. Crowe dalam bukunya “War Crimes, Genocide, and Justice: A Global History”
menggambarkan, setelah pertempuran Antiokhia, Tentara Salib membunuh
semua orang di kota itu dan menjual perempuan dan anak-anak dalam
perbudakan. Juga membunuh semua Muslim dan Yahudi di Jerussalem. Menurut
catatan, Tentara Salib membantai lebih dari 70 000 Muslim dan Yahudi di
kota itu dalam jangka hanya dua hari.
Awalnya orang Yahudi mencari aman dengan mengungsi ke sinagoge utama
mereka yang besar, tetapi ketika kumpul di sana untuk berdoa dan
keselamatan, Tentara Salib justru menutup semua pintu dan jendela, lalu
membakar bangunan itu menghanguskan hampir seluruh warga Yahudi
Yerussalem dalam sekali sambar.
Penduduk asli yang Kristen pun tidak benasib begitu baik. Ini karena
tak satu pun dari mereka sebagai jemaat Gereja Roma, melainkan berasal
dari gereja Timur seperti Yunani, Armenia, Koptik, atau Nestorian.
Pasukan Salib Franj memandang mereka sebagai sempalan dan ahli bid’ah
akidah juga ibadah, dan sebagaimana mereka pandang, bid’ah kadang lebih
buruk daripada kafir. Akhirnya, Franj menyita harta milik penganut
Kristen Timur ini lalu mengirim mereka ke pengasingan.
Pencaplokan Yerussalem menjadi titik penting dalam invasi Franj.
Pasukan Salib yang menang lalu memproklamirkan kerajaan Yerussalem
tempat yang menduduki peringkat tertinggi di antara keempat negara lebih
kecil yang berhasil direbut Tentara Salib Franj, lainnya adalah
kerajaan Antiokhia, Kabupaten Edesse, dan Tripoli.
Itulah keempat negeri yang menjadi kerajaan Tentara Salib, berkembang
dalam kemuraman selama beberapa dekade. Kedua belah pihak terus
mengalami bentrokan secara sporadis selama beberapa dekade, Salibis
Franj kerap memenangkan pertempuran melawan kaum Muslimin, tapi kerap
pula menelam kekalahan.
Memukul umat Islam, atau terkena pukulan, dan mereka juga kerap
bertengkar antar sesama, sebagaimana kaum Muslimin. Bahkan, kadang
terpaksa akur dengan mengadakan kesepakatan bersama pengkhianat dari
dari kedua belah pihak. Islam dan Kristen.
Dalam satu pertempuran Raja Tancred yang Kristen dari Antiokhia
berperang melawan amir Muslim Jawali dari Mosul. Sepertiga dari pasukan
Tancred saat itu terdiri dari prajurit Aleppo, yang bersekutu dengan
Kaum Hashashin dan memiliki hubungan erat dengan para Tentara Salib.
Hashashin
Namun, tidak semua perang dan kekacauan antarsesama umat Nabi
Muhammad berlangsung secara spontan, sebab, ada yang bermain di belakang
layar, menjadi skenario dan produser, supaya umat terus menerus berada
dalam kubang perselisihan.
Hashashin, sibuk di belakang layar, menjadi aktor dan produser
kenistaan. Misalnya, tepat sebelum Perang Salib dimulai, Hassan Sabbah
telah mendirikan basis operasi kedua di Suriah, dikelolah oleh bawahan
yang kelak dijuluki oleh Tentara Salib sebagai Si Tua dari Gunung (the old man of the mountain).
Pada saat perang berlangsung hampir semua yang bukan Hashashin benci
pada Hashashin, setiap kekuatan di negeri itu berusaha memburu mereka,
musuh kaum Hashashin, termasuk Dinasti Fathimiyah yang berpaham Syiah,
dan tentu saja negeri-negeri Sunni, seperti Turki Seljuk, dan Khalifah
Abbasiyah. Pada saat yang sama, Tentara Salib pun berperang melawan
seluruh musuh Hashashin. Maka secara de facto Hashashin dan Tentara
Salib Franj memiliki himpunan musuh yang sama, sehingga mereka
bersekutu, sebuah kolaborasi yang sempurna.
Hashashin yang lebih populer di Barat dengan sebutan “Assassin”
adalah salah satu cabang dari Syi’ah Ismailiyah. Mereka mendirikan
beberapa pemukiman di Suriah, Iran, Iraq, dan Libanon. Mereka mengirim
orang yang berdedikasi untuk membunuh pemimpin dan takhta”,
(https://en.m.wikipedia.org/wiki/Hashashin). Tentu saja sangat keliru
jika menyederhanakan Hashashin hanya sekadar ‘Pembunuh Bayaran’ seperti
dimaknai dalam kamus Barat.
Mereka lebih pada kelompok teroris, mafia dan bandit dengan jumlah
pasukan memadai, terorganisir dengan rapi, terlatih dengan apik,
memiliki kemampuan membunuh siapa dan apa pun yang dapat dilihat mata
kepala.
Disebut teroris karena kerjaan mereka selalu menebarkan teror di
seluruh penjuru negeri, sebagai mafia, mereka sangat oportunis, dapat
bersekutu atau bekerja dengan siapa pun yang penting menguntungkan,
termasuk jin dan iblis, dan sebagai bandit karena tidak ada hukum yang
ia taati kecuali hukum sesuai dengan kepentingan, dan jika menguntungkan
mereka.
Hashashin, lebih didorong oleh ideologi Syiahnya, yang memandang,
bahwa umat Islam mana pun, selain dari sekte mereka sesat dan harus
ditumpas. Maka, kolaborasi dengan para Kesatria Salib adalah sebuah
kesempurnaan untuk menghancurkan umat. Hashashin (dari dalam) sementara
kelompok Salibis Franj (dari luar).
Tidak ada yang tahu secara pasti, kapan Hashashin ini muncul, namun
menurut Dr Syamsuddin Arif, yang pakar dalam segala aspek terkait Ibnu
Sina (980-1037 M) menyebut bahwa Ayah Ibn Sina yang menjabat sebagai
gubernur Bukhara di bawah Khalifah Al-Amir Nur bin Mansur, kerap
menyetor upeti sebagai ‘jatah preman’ pada kawanan Hashashin. Lalu di
sinilah muncul persepsi liar dari kalangan Syiah bahwa Ibnu Sina adalah
penganut Syiah. Padahal tidak ada bukti dalam bentuk apa pun, jika ia
menganut aliran menyesatkan tersebut, andai itu benar, maka pasti dapat
dilacak dalam karya tulisnya yang mencapai 450 buah. Hanya saja,
didapati beberapa pandangannya dalam ranah akidah dipandang menyimpang,
namun tidak mengeluarkan dirinya dari Ahlus Sunnah apalagi sebagai
Muslim.
Dalam situasi yang kacau balau di negeri-negeri Muslim. Seruan jihad
di kumandangkan beberapa ulama dan pemimpin Islam. Tapi, sebagian besar
umat melihat bahwa jihad adalah hal aneh, kata itu hanya ada dalam kitab
dan diktat, bukan dalam realisasi dengan mengangkat senjata atau dalam
arti qital. Perang, saat itu bagi umat Islam semacam perpecahan dan
kekacauan yang terus terawat.
Selama abad pertama invasi Pasukan Salib Franj, setiap kali kaum
Muslim mulai bergerak ke aras persatuan, Hashashin membunuh para tokoh
kunci, yang memantik gejolak baru.
Misalnya, pada tahun 1113 M, Gubernur Mosul mengadakan konferensi
para pemimpin Muslim, untuk mengatur serangan bersatu melawan Franj.
Akan tetapi, tepat sebelum pertemuan dimulai, seorang pengemis mendekati
gubernur dalam perjalanan ke masjid, pura-pura meminta sedekah, lalu
tiba-tiba ia menikamkan sebilah pisau di dadanya dan, rencana serangan
itu pun pupus.
Sebelas tahun kemudian, 1124, agen Hashashin membunuh ulama paling
berpengaruh kedua yang menyerukan jihad. Tahun berikutnya, sekelompok
yang diduga sufi menyerang dan membunuh seorang khatib yang selalu
menyulutkan api jihad.
Tahun 1126, Hashashin kembali membunuh Al-Borski, raja tangguh Aleppo
dan Mosul yang, dengan menyatukan kedua kota besar itu, dapat membentuk
benih sebuah negara Muslim bersatu di Suriah.
Baroski bahkan telah berjaga-jaga dengan mengenakan baju besi di
bawah pakaiannya, karena ia tahu, Hashashin mengintai. Tetapi saat
beberapa sufi gadungan menyerangnya, salah satu dari mereka berteriak,
“Sasar Kepalanya!” Rupanya, ,mereka tahu tentang baju besinya. Akhrinya,
Baroski pun tewas.
Putra Baroski naik tahta, seperti ayahnya, ia kembali menyerukan
persatuan untuk melawan Pasukan Salib, namun, Hashashin kembali
membunuhnya. Lalu empat bersaudara mengklaim tahta kembali membenamkan
Suriah dalam kubang perang antara sesama saudara.
Sejak awal Perang Salib, pembunuhan demi pembunuhan terhadap
tokoh-tokoh kunci berpengaruh kerap terjadi, walaupun beberapa peristiwa
tidak terbukti sebagai perbuatan Hashashin, namun ibarat sinetron yang
diputar berulang-ulang, pembedanya hanya pada setting waktu dan sasaran.
Namun aktornya cenderung itu-itu saja, maka masyarakat lambat-laun akan
tahu dan mengarah pada satu muara: “Teroris Hashashin!”
Serangan balik (Immaduddin Zanki dan Sholahuddin al Ayyubi)
Gelombang yang akhirnya mulai menerpa dan mengancam para Kesatria
Salib Franj adalah serentetan pemimpin Muslim yang masing-masing lebih
besar dari yang pernah ada.
Yang pertama di antara mereka adalah Jenderal Imaduddin Zanki dari
Turki, yang memerintah Mosul, lalu mengambil Aleppo, dan kemudian
menyerap kota-kota lainnya yang dikuasai Franj, dan pada akhirnya
membuat sebuah teritorial yang ia sebut Suriah Bersatu, Zanki adalah
rajanya.
Inilah kebangkitan awal sejak lima puluh tahun, sebuah negara Islam lebih besar daripada satu kota dan sekitarnya di Syam.
Pasukan Zanki dihormati karena dia sosok prajurit arketipal. Hidup
apa adanya sebagaimana rakyatnya, makan apa yang mereka makan, dan tidak
angkuh. Dia lalu menebar semacam propaganda bahwa umat Islam memiliki
musuh bersama (common enemy) lalu mengatur kampanye melawan musuh itu.
Pertama, ia menyaring habis seluruh kelemahan mesinnya dengan
melenyapkan para penjilat dari istana serta para pelacur dari
pasukannya, dan terpenting, dia membangun jaringan informan propagandis
di seluruh Suriah untuk memastikan semua gubernurnya tetap sejalan.
Tahun 1144, Sang Jenderal menaklukkan Edessa, yang menahbis dirinya
menjadi pahlawan bagi dunia Muslim. Edessa bukanlah kota terbesar di
Timur, tapi merupakan kota pertama yang cukup besar yang berhasil
direbut kembali kaum Muslimin dari pasukan Salib, dan dengan merebut
Edessa berarti merampas salah satu dari empat ‘Kerajaan Tentara Salib’,
dan gelombang harapan mulai menjalar ke segenap pelosok Syam, di lain
pihak, gelombang kecemasan telah menerpa Eropa Barat, lalu menginspirasi
para raja dan pemuka agama untuk melancarkan: Perang Salib Kedua.
Zanki, mendorong dan mendukung para khatib di masjid-masjid untuk
mengobarkan semangat jihad sebagai alat mempersatukan umat, dan itu
sangat efektif. Sayangnya, Sang Jenderal memiliki kekurangan secara
personal, dan tentu saja tidak disenangi para ulama. Karenanya dianggap
tidak layak memimpin pasukan jihad.
Hal terpenting dari jasa Jenderal Zanki adalah ia telah menciptakan
sebuah gerakan Anti-Salibis yang dapat dilanjutkan oleh penguasa lain
yang lebih shaleh dan maju ke depan sebagai panglima jihad. Ia telah
membangun kanal untuk diairi generasi mendatang.
Itulah kenyataannya, putra penerus tahtanya, Nuruddin Mahmud Zanki.
Nuruddin Zanki memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki sang ayah.
Meskipun memiliki energi kemiliteran sama dengan ayahnya, Nuruddin
berperawakan lebih halus, diplomatik, dan shaleh. Dia menyerukan umat
Islam untuk bersatu berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Karena itu, sejarawan Barat menjulukinya sebagai pemimpin dogmatis dan
menjadikan jihad sebagai salah satu tujuan dalam beragama.
Ia telah menghidupkan citra tentang orang adil dan Shaleh yang
berjuang bukan untuk ego, atau kekayaan, kekuasaan, tapi untuk umat.
Dan, telah membangunkan umat dari mimpi panjang, mengembalikan kesadaran
mereka, dan hebatnya, ia dapat memelihara semangat jihad yang dapat
digunakan penguasa lain yang lebih besar dan mampu menyusun kemenangan
politik dalam arti sesungguhnya.
Dalam kisahnya, Nuruddin Zanki, pernah bermimpi berkali-kali, Nabi
minta tolong padanya, kenyataannya, ada orang Yahudi sedang menggali
kuburan Nabi untuk mencuri jasadnya.
Pemimpin dan penguasa yang datang setelahnya adalah Salah Al-Din
Yusuf ibn Ayub, bahasa Kurdish disebut Silhedine Eyubi. Bahasa Parsinya
Selahuddin Eyyubi. Orang Barat menyebutnya, Saladin. Tapi umat Islam
mengenalnya sebagai Shalahuddin Al-Ayyubi, keponakan salah satu jenderal
tinggi Nuruddin Zanki.
Pada tahun 1163, Nuruddin mengirim paman Shalahuddin untuk
menaklukkan Mesir di bawah Dinasti Fathimiyah, ia memang Ahlus Sunnah
yang paham akan bahaya dan kesesatan Syiah. Sekaligus untuk berjaga-jaga
jangan sampai direbut oleh Tentara Salib atau menghindari adanya
kerjasama pasukan Salib dan Syiah.
Sang Jenderal, membawa serta ponakannya, lalu berhasil merebut Mesir,
dan tak begitu lama kemudian, ia pun wafat, meninggalkan Shalahuddin
sebagai pewaris tanggungjawab. Secara resmi, Mesir masih milik Dinasti
Fathimiyah, namun kekuasaan sesungguhnya milik wazirnya, dan pengadilan
Mesir dengan senang hati menerima Shalahuddin sebagai wazir baru
pengganti sang paman, terutama karena ia masih muda, baru berumur 29
tahun, dan para pembesar istana berpikir bahwa usia muda dan minimnya
pengalaman akan membuat ia mudah diperalat.
Shalahuddin, di bawah bayang-bayang pamannya, hanya sedikit
menunjukkan tanda-tanda kebesarannya. Berwatak diam dan bersahaja, tidak
menunjukkan kecendrungan untuk berperang apalagi ambisi sebagai
penguasa. Segera setelah mengambil alih Mesir, Nuruddin memerintahkan
untuk menghapus secara total Dinasti Fathimiyah.
Di saat yang sama, Pemimpin Dinasti yang Syiah-Rafidhan itu, adalah
seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun namun sakit-sakitan. Ia
benar-benar tidak memerintah, hanya sekadar boneka para pembesar
istana.
Shalahuddin menunaikan perintah Nuruddin secara lembut namun
terencana. Menggulingkan Khalifah Fathimiyah secara perlahan, sehingga
Sang Khalifah bahkan tidak mengetahui akan hal itu. Suatu Jumat,
Shalahuddin hanya mengatur agar seorang warga negara berdiri di atas
mimbar membaca khutbah atas nama Khalifah Abbasiyah di Bagdad.
Tak ada seorang pun yang protes, dan tindakan penggulingan yang
lembut namun jitu itu, tuntas. Sedang, pemimpin dinasti yang muda dan
sakit-sakitan itu pun kemudian wafat tanpa ia sadar bahwa dirinya telah
menjadi warga biasa dan dinastinya talah lenyap. Lalu, menjadikan
Shalahuddin sebagai penguasa tunggal Mesir.
Atasannya di Suriah, Nuruddin selalu mengatur pertemuan dengan sang
bawahan, Shalahuddin. Namun, bawahannya selalu ada alasan untuk tidak
bertemu dan mengelak. Namun, dia berfikir, senior tidak mesti
diperlakukan tidak sopan, dan tetap rutin bekoordinasi dengan Nuruddin,
termasuk mengirim upeti dan hadiah, (Ash-Shalabi, 2013).
Dan, tetap bertahan, bahwa dirinya adalah bawahan Nuruddin sampai
atasannya meninggal dunia. Kemudian, Shalahuddin menyatakan dirinya
adalah penguasa tunggal Mesir dan Suriah. Beberapa pengikut Nuruddin
mengutuknya, dan menyebutnya pemula yang sombong dan tak tahu diri,
tetapi mereka berenang melawan arus sejarah. Sang Penyelamat telah tiba.
Shalahuddin, berperawakan kecil, tampangnya seperti orang termenung,
sorot matanya melangkolis. Tetapi ketika tersenyum, dia bisa memecahkan
keheningan ruangan. Sangat dermawan, sampai-sampai memiskinkan dirinya
sendiri, rendah hati terhadap yang lemah, tapi gagah di hadapan orang
kuat. Tak ada yang dapat mengintimidasi dirinya, namun, kharismanya
dapat mengintimidasi seluruh musuhnya. Sebagai seorang pemimpin militer,
dia terbilang kawakan, tapi tidak istimewa. Kukuasaan dan kekuatannya,
hakikatnya terletak pada kenyataan bahwa rakyat amat mencintainya.
Kehidupan pribadinya amat zuhud, dan kerasnya terhadap diri sendiri,
sebagaimana atasannya dahulu, Nuruddin, namun tidak menuntut orang lain
atau bawahannya untuk ikut seperti dirinya. Para pengkhianat dan
penjilat yang datang kepadanya justru heran, karena diberi hadiah atas
kelakuannya. Dan inilah manusia yang pernah berkata, Bagiku, uang dan
debu tidak ada bedanya, (Syamsuddin Arif, 2007).
Hashashin berusaha keras untuk membunuh Shalahuddin, sebagaimana yang
kerap mereka lakukan pada penguasa sebelumnya. Dua kali mereka
menerobos langsung ke kamar tidurnya ketika ia sedang terlelap. Sekali
mereka melukainya di kepala tetapi dia sedang mengenakan penyangga leher
dari bahan kulit dan helm logam di bawah serbannya. Setelah dua
percobaan pembunuhan, Shalahuddin memutuskan untuk menumpas habis
Hashashin. Dia merencanakan pengepungan benteng mereka di Suriah.
Apa yang terjadi terjadilah. Hashashin yang digambarkan sebagai
teroris, mafia, dan bandit yang bagitu besar pengaruhnya bagi imajinasi
publik, dan setelah membuat dua kali percobaan pembunuhan pada
Shalahuddin, justru menggali lobang kuburan sendiri, dan menjadikan
Shalahuddin laksana Hang Tuah dalam sejarah heroik dunia
Melayu-Indonesia. Tak terkalahkan!
Masa Kemenangan
Shalahuddin, tidak pernah mengumumkan bagaimana
memotong jantung kekuatan dan kehidupan Hashashin, yang jelas, setalah
pengepungan itu, Hashashin benar-benar telah disapu lalu dimasukkan
dalam kuburan galian mereka sendiri. Walaupun, masih ada yang tersisa,
itu hanya sel-sel kecilnya yang berserakan di mana-mana, dan tidak
pernah terdengar lagi gaungnya. Walaupun sejarah pernah mencatat bahwa
Hashashin pernah berusaha membunuh Hulagu pada tahun 1226 M, namun dia
gagal, kemudian kisah Hashashin lenyap sama sekali.
Para sejarawan mencatat kemenangan demi kemenangan diraih Shalahuddin
dalam berbagai peperangan. Tapi, sesungguhnya kemenangan itu bermula
ketika ia berhasil menyapu bersih para pentolah Hashashin-Syiah, dan
perlahan namun pasti, mengunci mereka dalam ‘tong sampah sejarah’.
Shalahuddin bergerak dengan hati-hati, menyatukan umat dan melunakkan
musuh-musuhnya. Dia tipikal penguasa yang suka, jika musuhnya kalah
sebelum perang. Dan, perang hanya meledak jika semua jalan damai telah
sumbat. Lihatlah, dia berusaha merebut kembali semua apa yang pernah
dicaplok Tentara Salib tanpa melalui pertumpahan darah secara sengit,
walau ia mampu memanggang musuhnya dalam perapian satu persatu: cukup
dengan pengepungan, embargo ekonomi, dan negosiasi.
Tahun 1187, ketika pindah ke Yerussalem, dia memulai dengan mengirim
semacam proposal perdamaian berisi ‘pengusiran’ agar Tentara Salib Franj
segera angkat kaki dari kota suci Yerussalem dengan damai. Sebagai
konpensasi, orang Kristen yang ingin ikut dapat membawa harta benda
milik mereka untuk kembali ke Eropa. Dan, orang Kristen yang ingin tetap
di sana boleh-boleh saja, dan dapat mengamalkan agama mereka tanpa
gangguan. Gereja akan dilindungi dan, para peziarah akan dipersilahkan
masuk-keluar dengan aman. Terang saja, para kesatria Salibis tak ingin
melepaskan Yerussalem, karena itu adalah kemenangan hakiki mereka dan
tujuan dari seluruh perang dan penaklukan. Shalahuddin, lalu mengepung
kota suci itu, mengambilnya dengan paksa lalu menanganinya persis apa
yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab: tidak ada pembantaian,
tidak ada penjarahan, dan membebaskan semua tawanan, setelah membayar
tebusan.
Walaupun dilakukan dengan lembut, perebutan kembali Yerussalem oleh
Shalahuddin dengan sepenuhnya mengembalikan apa yang telah dirampas oleh
Perang Salib Pertama dalam sejarah Islam, menimbulkan gejolak baru di
Eropa dan mendorong tiga raja paling berpengaruh untuk merencanakan
serangan Perang Salib ketiga yang sangat terkenal. Salah satunya adalah
Frederick Barbarossa dari Jerman, yang jatuh dari kudanya ke dalam air
setinggi beberapa inci dan tenggelam dalam perjalanan ke Tanah Suci.
Yang lainnya adalah Raja Prancis Philip II, berhasil sampai ke
Yerussalem, mengambil bagian dalam penaklukan pelabuhan Acre, dan
kamudiaan pulang kelelahan.
Yang tersisa tinggal Raja Inggris Richard I, dikenal bangsanya
sebagai Hati Singa. Dia adalah perajurit perang yang tangguh, tetapi ia
tidak layak menjadi kesatria teladan: dia mudah mengingkari janjinya dan
rela melakukan apa saja demi memenangkan peperangan. Dia, dan
Shalahuddin saling berhadapan selama satu tahun, dan Richard memenangkan
pertempuran utama mereka, tapi ketika mengepung Yerussalem pada Juni
1192, penyakit telah mengurangi kekuatannya dan udara panas membuatnya
sesak napas. Shalahuddin mengiriminya dokter dan buah segar serta salju
dingin lalu menunggu Richard menyadari bahwa dia tidak memiliki cukup
kekuatan untuk merebut kembali Yerussalem. Akhirnya, Richard setuju
berdamai dengan Shalahuddin, dengan syarat: kaum Muslimin akan tetap
memiliki Yerussalem, tetapi melindungi gereja-gereja milik orang
Kristen, dan membiarkan mereka menjalankan iman tanpa gangguan, juga
membiarkan para peziarah datang dan pergi sesuka hati. Richard dan
segenap pasukan Perang Salib yang tersisa beranjak pulang, didahului
oleh berita bahwa dia telah meraih semacam kemenangan di Tanah Suci. Ini
terasa lucu, sebab kenyataannya, dia menyetujui persis seperti yang
ditawarkan Shalahuddin sejak awal. Dan, telah diperaktikkan selama
perebutan kembali Yerussalem.
Setelah Perang Salib ketiga usai, tidak banyak lagi hal penting yang
berlaku, ada pun perang-perang yang terjadi, misalnya pada tahun 1206 di
mana pasukan Salib hanya kelelahan di sepanjang jalan, sebab dipukul
mundur oleh pasukan yang ada di kota-kota Islam rute menuju Yerussalem.
Dan, pada pertengahan abad ke-13, seluruh dorongan Perang Salib telah
melemah di Eropa dan pada akhirnya pupus.
Penutup - Masa Kemunduran
Kekalahan Pasukan Salib telah menjadi dendam sejarah dan berusaha
untuk membayarnya, walaupun pada dasarnya umat Islam memandang bahwa
perang telah usai, tidak ada dendam, dan hanya merebut kembali apa yang
menjadi hak milik mereka. Selain itu, pasukan Salibis selama
pencaplokannya di berbagai negeri Muslim tidak membawa apa-apa kemajuan
apalagi peradaban, yang diingat hanya kebengisan dan kebiadaban bahkan
kanibalisme. Mereka justru menangguk ilmu dan meniru peradaban yang ada
di negeri Timur, membawa balik ke Barat, lalu menyusun strategi, dan
kembali ke Timur pada beberapa abad kemudian, dalam bentuk formasi
pasukan Salibis yang jauh lebih canggih, di saat umat Islam sedang tidur
terlelap berkubang kemalasan, kemunduran, dan kejumudan.
Kini, episode Perang Salib terus terulang, dan umat Islam terus saja
berada dalam kekalahan dan tekanan, terutama pasca pencaplokan
Yerussalem melalui tangan Yahudi pada tahun 1967 usai Perang Enam Hari.
Setiap ada yang bersuara untuk menyatukan umat, maka, ia akan dicap
radikalisme dan terorisme. Nampaknya, Hashashin tetap ada di balik layar
dalam bentuk yang berbeda, sayang umat terlalu lugu dan mudah
diadu-domba.
Negara-negara Islam di bawah Ahlus Sunnah satu-persatu rontok dan
jatuh dalam lubang ular, sebagaimana yang terjadi di Irak, Mesir,
Libiya, Lebanon, Suriah, dan kini Yaman.
Negara-negara di kepulauan Nusantara pun jadi target, kaum Hashashin
tersebar dengan formasi elegan, mengajak persatuan tapi menebar racun
pada umat dengan memaki dan mengumpat sahabat Nabi. Hashashin-Syiah
dapat bekerjasama dengan siapa dan apa pun untuk merontokkan Ahlus
Sunnah, karena itu jangan heran jika Muslim Rohingya dibantai lalu
diusir oleh Buddha Miyammar, para penggiat HAM-Barat cuek saja, atau
Muslim Tolikara-Papua dilempari baru ketika salat Ied dan dibakar
masjid, rumah dan tempat usahanya oleh Umat Kristen, Hashashin bersuka
ria. Wallahu A’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar