Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Cari Blog Ini

20 Oktober 2008

Terbilang pada Jasper Server

Kali ini saya mendapat tugas untuk menampilkan terbilang pada report yang dibuat via iReport. Logikanya sih sederhana, kita hanya perlu membuat function untuk mengkonversi dari nilai numerik menjadi kata-kata numerik.
Ada tiga pendekatan dalam kasus ini. Pertama adalah membuat membuat class (java) yang berisi fungsi ini dan menguploadnya ke database postgres (dengan PL Java). Dengan cara ini maka kita tinggal memanggil fungsi tersebut melalu sintaks query.

Select sayNumber(1000.0) as terbilang

Cara kedua, dalam kasus ini source data adalah database Adempeire, tambahkan field terbilang pada tabel yang diharapkan, dan isi field tersebut melalui aplikasi Adempiere. Dengan kata lain data yang dikirimkan ke report telah matang. Contoh fungsi di postgres yang menggunakan PL Java:

CREATE OR REPLACE FUNCTION adempiere.sayNumber(myNumber "numeric")
RETURNS "varchar" AS
'org.compiere.sqlj.Adempiere.sayNumber(BigDecimal)'
LANGUAGE 'java' VOLATILE;
ALTER FUNCTION sayNumber(myNumber "numeric") OWNER TO adempiere;

Cara ketiga adalah dengan menggunakan bantuan scriplet yang memangil fungsi sayInWords. Fungsi ini di simpan di class dan diupload ke JasperServer.


import net.sf.jasperreports.engine.*;
import guescriptlet.utils.*;//kumpulan fungsi untuk, termasuk fungsi sayNumber()

public class FormPembayaranScriptle extends it.businesslogic.ireport.IReportScriptlet {

/** Creates a new instance of JRIreportDefaultScriptlet */
public FormPembayaranScriptlet() {
}
public String sayinwords(double number){
return AmtInWords_IN.sayNumber(number); //fungsi dipanggil dari sini
}
}

18 Oktober 2008

Nah ini dia...

Hari ini dapat email dari salah satu milis, isinya hal yang sudah sangat familiar kita dengar: RUU Pornografi. Sangat familiar karena terjadi pro dan kontra yang sangat hebat. Saya pribadi karena gak ngerti pernak-pernik hukum dan permainan kata-katanya, mendukung adanya peraturan (hukum) untuk membatasi arus pornografi di Indonesia. Menurut saya memang hukum itu dibuat berdasarkan sisi enaknya saja dan licik. Padalah permasalahannya sederhana. Stop pornografi!! Saya sendiri bingung untuk mengungkapkan pendapat saya. Dan akhirnya ada saya mendapatkan email tersebut yang isinya sesuai dengan pendapat saya.
Politik Pornografi di Indonesia
by: Sirikit Syah

Seru juga perdebatan pro-kontra pornografi di tanah air. RUU ini sudah dibahas di DPR sejak awal reformasi. Sudah 10 tahun. Betapa besar biayanya. Memangnya tak ada hal lain yang lebih patut dibiayai? Bukankah persoalan susila sudah dibahas di banyak UU atau aturan lain? Sebut saja KUHP, UU Penyiaran, UU Pers, UU Pelindungan Anak. Lalu, mengapa perlu UU Pornografi?

Pada tahun 2006, saya termasuk menentang RUU yang semula bernama APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Dari segi content, misalnya, sepasang suami istri yang berciuman di bandara untuk mengucapkan selamat tinggal, bisa dikenai pasal "melakukan pornoaksi di depan umum". Keberatan saya juga karena adanya pemborosan anggaran negara untuk hal yang para legislatornya saja kurang mengerti. Tidak seperti para aktivis perempuan dan kaum liberal, saya tidak sedang membela kaum perempuan (saya juga membela anak-anak, laki-laki, orangtua, dan gender ketiga).

Manusia berubah, takterkecuali saya. Saya sekarang menyatakan mendukung RUU Pornografi. Saya telah mempelajari dokumen-nya dan melihat kesungguh-sungguhan Pansus di DPR untuk menampung semua keberatan dalam perdebatan dua tahun ini. Draft yang tadinya terdiri dari 96 pasal, sekarang tinggal 48 pasal. Hal-hal aneh-aneh seperti "dugaan pornoaksi" banyak dihapus. Perlindungan terhadap kesenian, ritual adat, dan masyarakat tradisional, tersedia dengan manis di Pasal 14. Bila UU dan aturan lain kurang rinci dalam sanksi pelanggaran, RUU Pornografi ini berfungsi sebagai lex specialis yang dapat diterapkan. Tak ada lagi alasan menolak UU Pornografi ini.

Semua UU/aturan yang diajukan para penentang menggunakan istilah "kesusilaan", bukan "pornografi". Dalam praktiknya, pasal ini akan menjadi pasal karet, tarik ulur atas makna "melanggar kesusilaan". Beberapa kali kasus pornografi gagal dihukum dengan Pasal 282 KUHP karena kelonggaran makna "kesusilaan" ini. Tergantung hakim dan saksi ahli. Awal tahun 2007 majalah Playboy menang pengadilan karena para saksi ahli (wartawan, seniman) menyatakan isi majalah sama sekali tidak porno.

RUU Pornografi juga dituduhsebagai ancaman terhadap masyarakat tradisional.
Para penentang membawa-bawa nama orang Bali (memangnya orang Bali masih suka bertelanjang dada?), dan rakyat pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Tentu saja pemakai koteka tak akan ditangkap dan dihukum karena pornografi. Lagipula, mari kita bertanya pada diri sendiri: kita akan melanggengkan primitivisme (manusia tak berbusana), atau memajukan peradaban (mem-busana-kan masyarakat pedalaman)?

Masyarakat Papua tentu sajadijamin hak asasinya bila tetap ingin mengenakan koteka. Namun perkembangan alamiah manusia adalah menuju kemajuan. Rasa malu diturunkan secara manusiawi oleh Nabi Adam dan Siti Hawa (yang menutupi aurat dengan daun-daunan di Taman Surga). Secara natural, manusia memiliki rasa malu. Wajar bila pemakai koteka akan memilih mengenakan sarung, rok, atau pantalon untuk menutupi auratnya, terutama setelah mereka berinteraksi dengan masyarakat luas.

Para penentang juga menuntut "kebebasan memiliki dan memutar video porno" di kalangan manusia dewasa, karena manusia dewasa diharapkan/dipercaya dapat bertanggungjawab. Seandainya klaim itu benar, bahwa semua manusia dewasa bertanggungjawab, betapa amannya dunia ini. Dalam perspektif lain, meskipun ditonton secara pribadi, pernahkah mereka berpikir: siapa yang memainkan adegan porno itu? Jangan-jangan anak di bawah umur, atau perempuan yang diperdagangkan? Dimana empati mereka? Para penggemar video porno (sebagai terapi seks) sebaiknya memfilmkan diri sendiri saja.

Banyak sekali tuduhan sangar pada RUU Pornografi, antara lain "tirani mayoritas atas minoritas", "diskriminatif terhadap perempuan", "memasung kreativitas seni", dan yang paling seram "agenda Islamisasi/Talibanisasi". Ini semua kekuatiran berlebihan. Di alam demokrasi, kemenangan mayoritas sangat wajar, dan tidak berarti tirani terhadap minoritas. UU Pornografi jauh dari menindas perempuan, melainkan menjunjung tinggi derajad dan martabat perempuan.

Akan halnya kreativitas seni, sastrawan Taufik Ismail dalam pidatonya saat Uji Publik RUU Pornografi, 17 September di Jakarta, mengatakan: "Apakah seniman betul-betul kering kreativitas, sehingga tak bisa lagi menulis tentang kemiskinan, kebodohan, penindasan ekonomi, budaya, dll?" Dia secara tajam juga menyerang masyarakat seniman SMS (Sastra Madzab Selangkang) dan FAK (Fiksi Alat Kelamin) yang kini marak di kalangan penulis muda dengan sasaran generasi muda.

Apakah RUU Pornografi ini adalah gerakan Islamisasi/Talibanisasi? Di sinilah letak permainan politik para penentang. Mereka menggunakan berbagai cara, dari isu gender (diskriminasi perempuan), isu kedaerahan (mengancam masyarakat Bali dan Papuan), hingga yang paling sensitif: membenturkan Islam vs non-Islam. Padahal, semua agama dan kitab suci tidak menyetujui pornografi.

Gerakan politik penggagalan UU Pornografi ini keras menggema di berbagai media dan forum, berupa kutipan pernyataan maupun artikel, hingga ke seminar-seminar akademik dan politik. Terakhir, para penentang mengusung unsur paling sederhana, yaitu "definisi pornografi", dan mempersoalkan frasa "menimbulkan hasrat seksual". Di berbagai kamus bahasa Inggris tentang definisi 'pornography', memang unsur "sexual arousal" terdapat di situ, bukan semata karangan Pansus UU Pornografi. Akan halnya pertanyaan "siapa yang akan terangsang?", ini tak akan selesai diperdebatkan. Bisa saja para pelapor pornografi adalah kaum yang mudah terangsang. Tapi, bisa juga para penentang RUU adalah kaum frigid atau impoten yang sulit terangsang. Kita serahkan saja pada para ahlinya, melalui proses pengadilan, bila ada kasus yang dilaporkan.

Penulis adalah pengamat media
--
Shindu B Raditya
http://shindu-b-raditya.blogspot.com/


09 Oktober 2008

Dipo Induk Sidotopo

Foto by M.Lutfi

Sejak saya ikut milis keretapi, suatu milis yang isinya kumpulan orang-orang penggila kereta api (edan sepur) dan tentu saja isinya ya mbahas masalah per-sepur-an dari A s/d key ASCII 255, saya selalu iri jika melihat postingan foto-foto kegiatan mereka di dipo-dipo, bengkel, stasiun. Apalagi jika ada kegiatan keluar kota. Ingin rasanya untuk ikut berpartisipasi. Sayang apa daya, waktu tidak mengijinkan untuk itu. Tetapi, pada hari kemenangan kemarin, keinginan itu akhirnya terkabul! Berawal dari pengumuman adanya kegiatan silaturahmi di rumah Khrisna Karel, anggota IRPS Bandung, yang kebetulan orang tuanya adalah masinis senior di dipo Sidotopo. Membaca undangan itu, saya sangat ingin untuk hadir, tapi masih terbentur jadwal acara lebaran di Kediri. Lah, ndilalah, saya harus kembali ke Surabaya di hari Kamis. Tepak iki, undangan kegiatan adalah hari Sabtu. Akhirnya pun saya bisa menghadiri undangan itu. Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku menginjakkan kakiku didalam dipo Sidotopo. Berbaur dengan kumpulan lokomotif, ceceran oli, dan bau asap solar mesin diesel lokomotif. Bersama rekan-rekan melihat interior kabin CC20412 yang masih kinyis-kinyis, dan merasakan deru mesinnya yang "merdu".

   
Foto by Asep

  
Foto by M.Lutfi 

08 Oktober 2008

Command Ubuntu yang Sering Lupa

Walau sering banget command-command ini digunakan, tetapi sering pula juga gw lupa!! Sampe-sampe gw juga lupa untuk catet ^_^

1. Melihat sisa hardisk
du -hs *
Pindah dulu ke direktory tertentu, maka akan terlihat free space dan used space untuk direktori tersebut

df -hl
Untuk melihat sisa hardisk secara keseluruhan (per partisi linux)

2. Setting variabel
PATH=/usr/local/pgsql/bin:$PATH
export PATH
titik dua menandakan PATH akan di append, bukan di replace

3. Ganti JAVA version ubuntu
sudo update-alternatives --config java
secara default ubuntu memiliki java, sehingga jika kita install java baru, maka akan terdapat dua versi java.

Namun ketika kita menginstall bukan dari package deb, maka ketika menggunakan command diatas tidak akan muncul versi java yang baru kita install. Untuk itu kita harus manual mempointing (link) file binary java, javac, javah, javaws, javadoc ke dalam direktori /usr/bin

user@comp:~/ProgramFiles/jdk1.5.0_17/bin$ sudo ln -s /home/user/ProgramFiles/jdk1.5.0_17/bin/java /usr/bin
user@comp:~/ProgramFiles/jdk1.5.0_17/bin$ sudo ln -s /home/user/ProgramFiles/jdk1.5.0_17/bin/javac /usr/bin
user@comp:~/ProgramFiles/jdk1.5.0_17/bin$ sudo ln -s /home/ProgramFiles/jdk1.5.0_17/bin/javah /usr/bin


4. Enable compile Adempiere
Jika muncul error:

user@xxxx:/media/sda5/Source/320-B2/utils_dev$ ./RUN_build.sh
JAVA_HOME is not set.
You may not be able to build Adempiere

maka dipastikan JAVA_HOME belum di set, untuk itu perlu untuk mengesetnya


JAVA_HOME=[path java JDK]
export JAVA_HOME

5. Uninstall package
pertama cari dulu nama package dengan comand:
dpkg l |grep [nama package]

Setelah detail nama package diketahui, jalankan
apt-get remove [nama package]

07 Oktober 2008

Lagi-lagi Novel jadi Film


Tadi malem, di hari ke-dua ku menjadi bujangan karena Istri dan Anak piknik ke Bali, saya sempat kan nonton film yang menurut media fenomenal, Laskar Pelangi. Apa sih yang buat saya tertarik menonton film Indonesia ini? Mungkin yang paling utama ya karena saya sudah (belum selesai sih) membaca Novelnya, kemudian ya gara-gara rumor tentang ke-dasyat-an film ini.
Saya pilih lokasi di SuToS (Surabaya Town Square), dan show time pada pukul 19:00, jadi saya harus menunggu kurang lebih satu jam karena saat itu masih pukul 17:50. Tiga puluh menit sebelum pemutaran, ternyata penonton telah menyebut di lobi XXI cinema. Di dominasi oleh Ibu-ibu dan Anak-anak rasanya seperti mau menonton film Power Rangers the Movie. Agak kikuk juga sih, apakah saya salah menonton film ini. Tapi ternyata penonton dewasa, yang mayoritas berpasangan, masih banyak juga.

Film di buka dengan cover berupa animasi pelangi yang cukup bagus. Kemudian menampilkan suasana Belitong tempo dulu beserta narasinya. Bagi saya, yang telah membaca novelnya, pikiran ini selalu menggali, adegan film ini sesuai dengan bagian novel yang mana. Itu lah sebenarnya yang menggangu keasyikan dalam menonton film ini. Selalu berusaha menghubungkan filmnya dengan novelnya. Jika ada yang tidak sesuai, maka akan merasa film nya tidak sesuai dengan novel. Memang di film itu banyak bagian novel yang di ubah. Tidak mudah tentunya mengubah novel (tanpa gambar) menjadi sebuah seni gambar bergerak. Contohnya adalah bagaimana caranya menjelaskan rasa gatal yang dirasakan Ical dan kawan-kawan ketika memainkan teaterikal tujuh belasan. Di film hanya di jelaskan dengan garukan, yang mungkin sebagian orang tidak mengerti (apalagi yang tidak baca novelnya), dan baru di adegan selanjutnya di sebutkan bahwa rasa gatal itu tidak hilang berhari-hari.

Makanya, gara-gara mebanding-bandingkan itu, akhirnya saya tidak menikmati film ini. Ah ruginya, baru kepikiran sekarang. Kenapa ya koq saya merasa film ini ceritanya terpotong-potong. Seandainya saya belum pernah membaca novelnya, tentu saya dapat menikmati film ini seperti ketika saya menikmati film Da Vici Code, dimana alurnya dapat menghanyutkan pikiran ini.
Yah sudahlah, lain kali mending nonton filmnya dulu baru baca bukunya. ^_^